Menu
 

Keunikan Masjid Bawah Tanah di Pekukuhan, Mojosari, Kabupaten Mojokerto
Berawal sebagai Obat Stres, Kini Diminati Pengunjung Luar Kota
Masjid Agung Wisnu Manunggal di Dusun Losari, Desa Pekukuhan, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto tergolong unik. Di bawah bangunannya yang megah itu terdapat bangunan musala-musala kecil yang fungsinya sama seperti sebuah masjid yang berada di bawah tanah. Bagaimana bentuknya?

MOCH. CHARIRIS - Mojosari

Masjid Agung Wisnu Manunggal yang terletak 12 kilometer dari arah Kota Mojokerto atau tepatnya di Dusun Losari, Desa Pekukuhan, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, sekilas bangunan masjid tampak seperti masjid pada umumnya.

Namun, ada yang beda. Yakni, di bawah bangunan masjid terdapat lorong-lorong yang berfungsi sebagai tempat ibadah warga sekitar. Bahkan, tidak sedikit tamu dari luar kota yang singgah ke masjid tersebut. Berkontempelasi atas keagungan Sang Khaliq, ternyata tidak hanya dilakukan di masjid. Seperti halnya Ki Imam Malik, pengasuh Ponpes Sambung Sari, Desa Pekukuhan, Mojosari yang memiliki cara berbeda. Yaitu dengan membuat goa. Lorong-lorong goa sengaja dibuat untuk memperdalam kerohanian dan ketaukhidan sebagai media pensucian hati. Sebelum masuk lokasi masjid, terlebih dulu kita harus melewati sebuah gapura lorong sebagai pintu menuju masjid, yang berdiri di sebelah timur bangunan induk. Pintu itu tembus ke bangunan masjid di sebelah utara rumah induk. Di samping timur rumah induk juga terdapat sebuah lorong yang hanya bisa dilewati satu orang, yang langsung menuju ke dalam perut bumi dengan kedalaman 5 meter hingga 7 meter.

“Kami menamakan lorong ini dengan sebutan Goa Muhammad. Lorong yang mengantarkan kita kepada ketaukhidan,” ujar Imam Malik. Disebut “Goa Muhammad” karena memiliki kedalaman 7 meter. “Di bawah masjid ini memang sengaja dibangun sebagai media perenungan diri. Di lorong ini pula kami bersama para santri melakukan ritual kerohanian, termasuk ibadah salat lima waktu, berzikir, istighotsah, serta melakukan amalan ketaukhidan yang lain,” jelas Imam, panggilan Ki Imam Malik.

Itulah sebabnya hampir sepanjang dinding goa itu tertulis ratusan kalimah taukhid, seperti halnya lafad barjanji dan dziba’ yang terukir di dinding goa.

Dikatakan Imam, gua atau lorong di bawah masjid dibangun pada tahun 1995 oleh para santri pesantren bersamaan dengan pembangunan masjid, dan selesai pada tahun 1997. Saat masuk, pada lorong-lorong tidak sedikit pun terdapat cor beton yang terbuat dari semen. Bangunan itu hanya mengandalkan tanah pasir.

Lorong-lorong itu sengaja dibuat menuju ruang utama masjid dalam tanah. Dalam masjid tersebut kita akan melewati 7 sumur 2 sendang dan 5 musala. Dari masing-masing tempat tersebut diberi nama yang berbeda-beda. Seperti Pertapaan Pringgodani Lorong Kalimahsodo, Musala Peluru Sumur, serta Sendang.

“Biasanya para santri dan pengunjung mengambil air dari Sendang untuk dibawa pulang. Selain itu, di Sendang ini biasanya para santri melaksanakan meditasi,” papar Imam.

Setelah melalui lorong berkelok, baru kemudian memasuki ruang utama masjid bawah tanah yang terdiri atas tujuh pintu. Tujuh pintu atau lorong ini digunakan sebagai baris salat. Yaitu setiap pintu mampu menampung tujuh orang. Sehingga, sekali melaksanakan salat jamaah, masjid bawah tanah ini hanya mampu menampung 50 orang yang terdiri atas 49 makmum dan 1 sebagai imam.

Bangunan masjid di atas lorong terdiri atas dua lantai yang unik. Untuk membuat tingkat masjid, hanya menggunakan bambu sebagai penopang.

Sedangkan pada tiang ada yang terbuat dari ban bekas yang ditumpuk pada sisi luar masjid ini, dan terdiri atas tiga menara. “Salah satunya dinamakan Menara Bundar. Karena bentuknya yang bulat. Sedangkan untuk tempat wudhu terbuat dari ban yang ditumpuk bertuliskan huruf Arab,” ungkap Imam. Lebih jauh dia mengungkapkan, pada hari-hari tertentu biasanya masjid ini ramai dikunjungi umat muslim, seperti Bulan Suro dan malam Jumat Legi. Para pengunjung tidak hanya dari Mojokerto. Mereka juga datang dari beberapa kota di Jawa Timur seperti Surabaya, Sidoarjo, Jember dan Banyuwangi.

“Padepokan ini awalnya sebagai tombo stres. Namun, karena ketenangannya, maka sering kita gunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,” tuturnya.

Di tiap-tiap bagian pintu gerbang padepokan, termasuk pintu lorong yang menuju masjid bawah tanah, kerap ditemui tulisan bercorak huruf Jawa dan huruf Islam. Menurut Imam, hal itu dimaksudkan untuk menyatukan dua budaya yang berbeda. Yaitu perpaduan antara Islam dengan Budaya Jawa. “Tulisan Arab menggambarkan bahwa agama yang kita yakini adalah agama Islam. Sedangkan tulisan Jawa menggambarkan bahwa sejak lahir kita berpijak di tanah jawa,” ungkapnya. (*)

Sumber : Harian Jawa Pos

Post a Comment

 
Top