Menu
 

Masjid Tua Berusia 197 Tahun di Mojosari
Meskipun Dianggap Khas, namun Tak Lagi Digunakan untuk Salat Jumat
Nilai intrinsik selalu lekat dengan bangunan-bangunan kuno. Khususnya tempat-tempat ibadah yang kaya nilai sejarah. Sebagaimana yang bisa ditemui di Masjid Baitul Muslimin Kauman Utara Mojosari, Kabupaten Mojokerto.

Dinding bangunan masjid itu terlihat lelah menyangga. Menara yang terpancung di atas atap seakan tak kuat lagi menahan panasnya terik matahari. Sedari jauh fisik Masjid Baitul Muslimin Kauman Utara Mojosari memang sudah terlihat sangat tua. Walaupun tampak tetap kokoh, seakan terus ingin mengayomi orang-orang yang beribadah di dalamnya.

Meskipun fisik bangunannya tak semegah Masjid Jami Mojosari yang berada di sebelah utaranya, namun Masjid Kauman tetap menjadi jujukan warga untuk melaksanakan salat. Khususnya warga yang berasal dari luar kota.

Setiap saat di depan masjid tampak sejumlah kendaraan yang parkir. Mayoritas kendaraan tersebut milik warga luar kota yang ingin merasakan salat di masjid tua. Bukan hanya salat, beberapa di antaranya juga berlama-lama di dalam masjid untuk membaca Alquran maupun mengamalkan berzikir.

“Sejumlah orang terkadang juga datang untuk minum air sumur masjid tua,” kata Ustad Husein, salah satu takmir masjid. Sumur itu terletak di sebelah utara bangunan masjid. Tetapi, masih dalam pagar masjid. Konon, air sumur tersebut diyakini membawa berkah, hingga mampu menyembuhkan sakit peminumnya.

Sejumlah warga yang datang mengaku lebih khusyuk saat beribadah di dalam masjid tua. Baik menjalankan ibadah salat, membaca Alquran maupun berzikir. “Salat di sini rasanya berbeda dengan salat di masjid lain,” ungkap Ustadz Hamzah, salah satu imam masjid.

Husein menuturkan, sejumlah kiai dan qori kerap datang ke masjid tua. Umumnya mereka mengaku merasakan sesuatu yang khas saat berada di dalam masjid. “Mereka mengaku seakan lebih mantap dan khusyuk saat melakukan aktivitas di dalam masjid,” katanya.

Hal tersebut juga dirasakan sejumlah kiai yang memberikan ceramah. “Kiai Husein Trowulan saat ceramah di sini pernah menceritakan hal istimewa yang dirasakan saat di masjid tua,” ungkapnya.

Masjid itu dibangun oleh Habib Salim asal Hadramut Yaman sekitar tahun 1810. Di belakang masjid tersebut setidaknya ada lima makam. Makam paling tua adalah, Makam Mbah Selar. Konon, dia adalah teman Mbah Abbas, keturunan ke-15 Sunan Giri yang dulu merawat masjid tua. Mbah Abbas dimakamkan di Banyuwangi. Pengurus masjid tua sendiri saat ini adalah, keturunan Mbah Abbas tersebut.

Hanya, saat ini masjid tersebut tidak digunakan lagi untuk salat Jumat. Meskipun setiap hari tetap saja ada salat berjamaah di dalamnya. “Zaman Belanda dulu masih digunakan salah Jumat,” kata Husein.

Saat ini, aktivitas rutin di dalam masjid tersebut antara lain, aktivitas perkumpulan pengamal sejumlah wirid. Khususnya wirid yang diwarisi dari para pendiri masjid. Yakni wirid latif dan rotibul hadad karya Habib Abdullah Alwi al Hadad. Rasa khusyuk yang diperoleh di dalam masjid konon menjadi salah satu penarik warga untuk berburu Lailatul Qadar.
sumber ; radar mojokerto

Post a Comment

 
Top