[ Selasa, 02 September 2008 ]
Strategi Perusahaan Besar Menyikapi Karyawan Perokok
Demi Lingkungan, Terapkan Sanksi PHK
Terlepas dari wacana MUI yang bakal mengharamkan rokok, sejumlah perusahaan menganggap serius persoalan karyawan perokok. Sehingga, memberlakukan sejumlah kebijakan khusus. Mulai penyediaan smoking area (ruang khusus untuk merokok), hingga sanksi PHK.
ROJIFUL MAMDUH, Mojokerto
------------
SEBUAH asbak kaca tergeletak di atas meja dalam ruang tamu PT Ajinomoto Mlirip, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Meskipun hawa dingin yang keluar dari AC terasa menyelimuti seluruh pori-pori. Sedikit mengempaskan udara panas yang sebelumnya terasa menyengat di luar ruangan.
''Di sini memang karyawan tidak mutlak dilarang merokok," kata Slamet Lestari, humas PT Ajinomoto memecah suasana. Larangan merokok hanya diberlakukan pada beberapa area tertentu. Utamanya bagian-bagian yang berisiko tinggi terhadap rokok.
''Tapi, kita tetap menyediakan smoking area," jelasnya. Sehingga, saat jam istirahat, karyawan perokok tetap bisa menyalurkan hasratnya di ruang tersebut. ''Di ruang ini, karena ada asbak, berarti boleh merokok. Namun, di luar sana, di jalanan dalam pabrik, dilarang keras merokok," ungkapnya.
Karena hal itu bisa sangat membahayakan. Apalagi, bila karyawan sampai membuang puntung rokok sembarangan. Selain itu, abu rokoknya mudah mengotori lingkungan sekitar, apabila merokok sambil jalan. ''Jadi, di sini, soal rokok, aturannya biasa-biasa saja," paparnya. Sehingga, tidak terlalu memberatkan 1.000 karyawan yang tidak tertutup kemungkinan sebagian besar di antaranya adalah perokok.
Berbeda dengan kondisi yang terlihat di PT Tjiwi Kimia. Sejak 18 Agustus kemarin, perusahaan kertas itu memberlakukan larangan merokok untuk seluruh karyawan. Baik karyawan internal pabrik sendiri maupun karyawan dari luar yang bekerja di pabrik.
Aturan tersebut tertuang dalam perjanjian kerja bersama yang ditandatangani SPSI dan pengusaha pada saat upacara HUT ke-63 RI, Minggu (17/8). ''Untuk karyawan luar pabrik yang biasa dibawa pemborong, apabila tertangkap merokok, maka izinnya kita cabut. Sehingga, ia harus keluar dari pabrik," ujar Sugianto, humas PT Tjiwi Kimia.
Sedangkan untuk karyawan internal pabrik, mereka diharuskan menandatangani surat pernyataan tidak merokok dalam pabrik. Untuk security, mereka menyatakan bersedia di-PHK jika ketahuan merokok. ''Karena merekalah yang menjadi perangkat tindak untuk menegakkan aturan ini, sehingga harus lebih tegas," jelas Sugianto.
Sedangkan untuk karyawan lainnya, mereka hanya menandatangani pernyataan siap mendapat Surat Peringatan (SP) ketiga atau terakhir apabila tertangkap merokok. ''Bahkan, bukan hanya saat tertangkap sedang merokok, saat tertangkap membawa rokok pun karyawan diberi surat tilang. Nanti HRD yang memutuskan sanksinya," papar Sugianto.
Penerapan aturan tersebut dilakukan secara berjangka. Dari kampanye sejak 10 Agustus melalui penyebaran stiker dan pamflet. ''Ada 30 ribu selebaran yang kita buat dan dibagikan di setiap pintu, sehingga tidak ada alasan karyawan tidak tahu," ungkapnya.
Selain itu, di setiap sudut lokasi dipampang spanduk larangan merokok. Bahkan, dipintu masuk kantor juga terpampang bilboard yang berisi larangan merokok dalam tiga bahasa, Indonesia, China dan Inggris. Meskipun demikian, masih ada juga karyawan yang tertangkap sedang merokok, terutama sopir dan kernet.
Larangan merokok diberlakukan dengan berbagai pertimbangan. Di antaranya, karena semua yang terdapat dalam pabrik kertas itu rentan terhadap api. Juga mendukung program lingkungan hidup yang saat ini semakin digalakkan.
Utamanya program pengurangan emisi udara. Apalagi, selama ini pabrik juga menerapkan sistem lima R dan satu W. Yaitu, ringkas, rapi, resik, rawat, rajin dan waspada.
''Produktivitas juga meningkat," ujarnya. Karena waktu merokok dapat digunakan untuk bekerja. Dulunya, pada setiap divisi memang disediakan smoking area. Sehingga, setiap saat karyawan dapat merokok.
"Karyawan kita ada 13.000 orang. Tiga ribu di antaranya perempuan. Anggap saja yang merokok lima ribu karyawan laki-laki. Kalau dalam pabrik mereka merokok dua batang saja selama 10 menit, berapa waktu yang terbuang secara keseluruhan?" paparnya.
"Tentu saja dengan tidak adanya waktu yang terbuang itu, dapat mendongkrak produktivitas," ujar Sugianto.
Apalagi, semua komponen mendukung pemberlakuan kebijakan tersebut. Baik dari karyawan sendiri maupun pengusaha. Bahkan, program tersebut kini telah mendapat banyak apresiasi dari pihak luar,
meskipun belum genap sebulan dilaksanakan. Salah satunya dari Tee Che Heng, Direktur AON Global Risk Consulting Services. Sebuah perusahaan dalam bidang jasa konsultan asuransi yang berkedudukan di Singapura. (yr)
Post a Comment
Post a Comment