[ Senin, 01 September 2008 ]
Bertani di Tengah Kota
Keluarga di Bakalan Krajan ini sukses menekuni pertanian di perkotaan. Sejumlah inovasi mereka kembangkan, termasuk memproduksi padi organik. Hasilnya pun tidak langsung dijual, tapi dijadikan beras dan dikemas dengan merek Oges, yang bahasa Malang-nya berarti sego atau nasi. Bisa juga berarti Organik Enak dan Sehat.
---------------------------------------------------------------------------------
Eksis menjadi petani di perkotaan bukanlah hal gampang. Dituntut mampu melawan gencarnya laju modernisasi yang mengikis secara perlahan tempat berproduksi. Selain itu, petani perkotaan dituntut mencari "resep jitu" guna mempertahankan sekaligus mengembalikan tingkat kesuburan tanah yang sudah banyak berkurang akibat pencemaran tanah oleh limbah rumah tangga atau pabrik.
Di Kota Malang, ada petani yang sudah 33 tahun lebih konsisten mendedikasikan dirinya pada bidang pertanian di perkotaan. Bahkan, sejak tiga tahun terakhir, dia berjuang membudidayakan tanaman padi organik yang memiliki kandungan gizi serta vitamin lebih sempurna dibandingkan padi yang diproses dengan cara biasa. Untuk di Kota Malang, ia satu-satunya petani padi organik.
Yahmo namanya. Pria berusia 57 tahun ini mampu menjadi contoh sekaligus inspirator bagi ratusan petani di Kota Malang untuk tetap eksis menekuni pekerjaan yang mulai terkikis oleh waktu itu. Kakek kelahiran Malang 19 Mei 1951 lalu ini menekuni pertanian padi organik di sekitar tempat dia tinggal, Jl Pelabuhan Tanjung Perak 19, RT 03 RW 02, Kelurahan Bakalan Krajan, Kecamatan Sukun.
Total lahan pertanian yang dikelolah Yahmo seluas tiga hektare. Rinciannnya, lahan seluas satu hektare miliknya sendiri berada di Jl Pelabuhan Bakahuni, RW 01 Bakalan Krajan. Lalu satu hektare lagi ada di wilayah RW 02, menyewa tanah bengkok milik kelurahan. Satu hektare lagi juga lahan sewa milik perorangan, berada di wilayah RW 02. Ongkos sewa per tahun untuk bengkok Rp 3,5-4 juta. Sedangkan milik orang lain Rp 6 juta per tahun. Dari lahan seluas itu, lahan yang ditanami padi organik seluas dua hektare. Satu hektare ia tanami padi yang diolah dengan cara biasa. Tujuannya hanya sebagai pembanding.
Ditemui di rumahnya Kamis (28/8) siang, Yahmo baru saja pulang dari sawah. Dia langsung mempersilakan Radar masuk ke ruang tamu. "Maaf Mas, nunggu lama ya. Baru saja mengontrol aliran air ke sawah,'' katanya.
Yahmo mengawali pekerjaan tani sejak 1976. Kala itu petani di Kota Malang masih banyak. Namun, khusus padi organik, pria bertubuh kurus ini menekuninya sejak 2006 lalu. Awalnya dia menanam jamur merang dengan pola pemeliharaan menggunakan pupuk organik. "Saat itu saya memakai pupuk kandang kotoran sapi milik beberapa warga yang dibuang di halaman belakang rumah. Kotoran itu saya kumpulkan lalu diolah menggunakan obat khusus yang saya peroleh dari sebuah toko pertanian," tuturnya.
Hasil panen jamur merang saat itu berhasil dan layak dilanjutkan. Mulai sejak itu, dia percaya bahwa pupuk kandang bisa memberikan hasil maksimal untuk produk pertanian.
Sayangnya, meski hasil tanam memuaskan, namun kendala pemasaran hasil tanam menghadangnya. Ratusan kilogram jamur merang gagal dilempar di pasaran karena minimnya pengetahuan soal pemasaran jamur merang. Akibatnya, jamur merang dijual murah hingga akhirnya mengalami rugi besar.
Kegagalan itu ia jadikan pelecut untuk terus berusaha. Yahmo membuat inovasi lain dengan cara menanam padi organik. Terhitung sejak akhir 2006 hingga 2008 ini, ia sudah panen dua kali. Sedianya jika tidak ada kendala, September akhir, dia bakal panen untuk yang ketiga.
Sebelum berhasil seperti sekarang, saat pertama menanam padi organik, banyak petani lain yang mencemoohnya. "Katanya ada cara gampang mengolah lahan pertanian kok repot-repot cari cara yang sulit dan ribet. Apalagi apa yang saya lakukan, menurut mereka, masih coba-coba,'' kata Yahmo menirukan ejekan petani lainnya.
Ada yang cuek, ada juga petani yang berkonsultasi soal penanaman padi organik kepadanya. Yahmo melihat sikap cuek iu muncul disebabkan modal yang besar jika menanam dengan cara organik. Penggunaan pupuk kandang memang butuh biaya tinggi. Biaya itu bukan untuk pembelian pupuk, melainkan biaya pemupukan yang membutuhkan jumlah pekerja lebih banyak. Untuk pupuk kandang padat, teknik pemberian ke tanaman harus disebar. Namun, jika pupuk kandang cair, harus disiramkan menggunakan mobil tangki khusus. "Nah untuk menabur dan menyiramkan ke tanaman inilah, butuh pekerja lebih banyak ketimbang menggunakan pupuk kimia tabur atau semprot. Perbandingan perbedaan jumlah pekerja mencapai 3:6 orang untuk satu hektare lahan,'' urai Yahmo.
Artinya, untuk satu hektare lahan padi organik, dibutuhkan enam pekerja. Sedangkan untuk padi non-organik hanya cukup tiga orang saja. Kebutuhan pekerja pada prinsipnya dilihat sesuai dengan kebutuhan. Jika musim tanam dan panen jumlahnya bisa banyak. Namun, jika perawatan, butuh pekerja sekitar enam orang.
Dijelaskan, pupuk kandang cair dia peroleh dari rumen (isi lambung sapi yang disembelih). Cairan makanan dalam lambung tersebut dia peroleh dari pengiriman limbah pembantaian hewan ternak di sejumlah daerah di Kota Malang dan Kabupaten Malang. "Rumen tidak saya beli, namun diproleh gratis dari lokasi pembantaian tersebut dan hanya mengganti uang pengiriman. Satu truk rumen diganti uang pengiriman Rp 50 ribu,'' katanya. Setelah melalui tahap penyaringan, cairan rumen ini dimasukkan ke tangki mobil dan disiramkan ke tanaman.
Semetara pupuk kandang padat diperoleh dari kotoran sapi yang dikeringkan dengan cara vermentasi. Kotoran sapi dia peroleh dengan memanfaatkan limbah ternak di Gondanglegi. Kotoran itu dikeringkan di udara terbuka minimal empat hari, lalu disiram dengan bakteri khusus untuk penghilang bau. Yakni decomposer spectagro super degro kemasan satu liter. Hanya satu liter obat bakteri pengurai bisa digunakan untuk campuran satu ton kotoran ternak. "Dari proses yang sudah dilakukan sejak sebulan lalu ini, saya sekarang memiliki stok pupuk siap pakai dua ton,'' imbuhnya.
Saat itu, persepsi petani tentang bercocok tanam masih sederhana dan kurang inovatif. Mereka masih senang dengan cara sederhana yang cenderung simpel dan cepat mendatangkan hasil. Padahal, jika mau bersabar sedikit, bukan hanya kuantitas dalam jumlah banyak yang bakal diperoleh, namun juga kualitas panen yang menjanjikan. Misalnya dalam penggunaan pupuk kimia, mereka kerap beranggapan banyak pupuk bakal mendatangkan hasil yang memuaskan.
Padahal, kenyatannya, dengan penggunaan pupuk yang melebihi takaran yang telah ditentukan bisa berakibat mengurangi tingkat kesuburan tahan. Untuk mengurai kesuburan tanah, sangat sulit dan membutuhkan waktu lama. Sebaliknya, jika menggunakan pupuk organik, kualitas tanah semakin lama semakin subur. Penggunaan pupuk organik juga bisa menghemat biaya produksi tanam. Sebab, pupuk kandang jauh lebih murah dibandingkan pupuk kimia.
Tidak hanya itu. Pemakai pupuk kandang tak perlu khawatir terjadinya kelangkaan pupuk bersubsidi. "Petani bisa tidur nyenyak tanpa harus memikirkan kelangkaan pupuk kerap terjadi,'' ujarnya.
Menurut Yahmo, peggunaan pupuk kandang sejak dini juga sekaligus sebagai langkah antisipasi pencabutan subsidi pupuk oleh pemerintah yang ditargetkan pada 2009-2010 mendatang. Jika subsidi dicabut, harga per kuintal bisa Rp 190 ribu. Sekarang, karena subsidi, harga satu kuintal Rp 125 ribu.
Karena masih dalam taraf uji coba, hasil panen perdananya kurang bagus. Mengalami penurunan hingga 25 sampai 40 persen. "Menurut aturan, panen padi organik seluas satu hektare bakal menghasilkan gabah basah sembilan ton. Namun kenyataannya hanya memperoleh lima ton,'' katanya.
Berawal dari itulah, Yahmo melakukan sejumah inovasi. Salah satunya mengubah komposisi pupuk yang awalnya cair menjadi padat pada musim tanam kedua. Sayangnya, hasilnya juga kurang memuaskan. Bahkan ludes karena terserang hama tikus.
Inovasi kembali dilakukan pada musim tanam ketiga kali ini dengan menanam bibit unggul yang dia beli dari Karawang dan Sragen. Bibit padi unggul ini diketahui memiliki produksi lebih banyak.
Panjang maleh (satu tangkai padi) bisa dua kali lipat daripada bibit padi biasanya. Selain jumlah maleh yang lebih banyak, juga potensi butiran hampa pada setiap buliran padi di maleh jauh lebih kecil. Lainnya adalah menerapkan standar operasional penanaman lebih jelas dan tegas. Termasuk pemberian pupuk terjadwal dan pengendalian hama.
Dari inovasi itu, Yahmo menargetkan panen ketiga ini bisa mencapai 12 hingga 15 ton per hektare. Padahal normalnya hanya sekitar 7 sampai 9 ton. Sejauh ini, Yahmo mengaku optimistis jika rencananya tercapai karena hasil terakhir menunjukkan keberhasilan. "Maleh sudah panjang dan berisi. Insya Allah, sebelum Lebaran, bisa panen,'' katanya.
Melalui bertani, suami Sri Ba'atun, 55, ini mampu mengantarkan ketiga anaknya, yakni Sugeng Cahyo Purnomo, 33; Ruly Istanto, 30; dan Nanang Hadi Atmoko, 23, menjadi sarjana. Sugeng lulus ITN sebagai sarjana teknik, Ruly lulus dari UMM sebagai sarjana peternakan, dan Nanang sarjana ilmu sosial FISIP Unmer.
Dari ketiga anaknya, Yahmo berhasil mengajak Nanang menekuni pertanian. "Ya, saya turut bangga karena anak saya mau perhatian terhadap pekerjaan ayahnya kendati dia (Nanang) lulusan ilmu sosial,'' ujar Yahmo.
Sebagai kepala keluarga, Yahmo tidak bersikap otoriter. Misalnya memaksa anak-anaknya agar ada yang bersedia menjadi petani. Dia juga tidak meminta anaknya mau membantunya dalam bidang pertanian. Kepada anak-anaknya, Yahmo selalu berpesan agar semua pekerjaan harus ditekuni dengan dasar senang. Jika dipaksa, akibatnya fatal.
Nanang, yang menemani ayahnya, mengaku terpanggil ikut jejak ayahnya sebagai petani ketika telah puas mencoba bekerja di luaran. Yang ia rasakan, menjadi pekerja yang tidak memiliki kemampuan dan keahlian sangat kecil kemungkinan untuk sukses.
Setelah lulus, pemuda lajang ini sempat menjadi manajer cabang studio foto di Banyuwangi. "Keren memang jabatan yang saya pegang. Namun saya rasa tidak ada kepuasan dengan batin saya," aku Nanang.
Enam bulan menekuni pekerjaan itu, Nanang mengaku tidak kerasan dan pilih balik ke Malang. Setibanya di Malang, mata hatinya baru terbuka dan akhirnya bersedia terjun ke dunia pertanian yang selama ini digeluti ayahnya. "Saya sadar dari bertani ini, saya bisa menjadi sarjana. Dan sekaranglah waktunya untuk membantu orang tua,'' ungkapnya.
Beralih pekerjaan ikut ayahnya ke sawah sempat menuai cemooh dari saudara serta tetangga. Mereka menyayangkan mengapa harus melepas pekerjaan sebagai manajer. Kendati demikian, Nanang tetap tegar. Dia bisa memberikan penjelasan nyata kepada setiap orang yang mencibirnya. "Saya mau buktikan, meski jadi petani, saya bisa suskes,'' tegasnya.
Yang dia amati selama ini, ayahnya kaya akan praktik namun kurang dari segi teori terapan pertanian. Nanang merespons dengan orientasi ke sejumlah lembaga pendidikan, termasuk mengupayakan tanah milik ayahnya untuk melakukan tes kesuburan tanah di laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Upaya lain, mencari bibit unggul ke sejumlah daerah seperti Sragen dan Karawang. "Itu semua saya lakukan dengan teman-teman sevisi dan biaya sendiri. Bukan biaya pemerintah," kata dia.
Gagasan terbaru dari Nanang adalah menciptakan pabrik pupuk organik. Sebulan lalu, gagasan ini sudah dia lakukan di sebuah desa di Gondanglegi. Di lokasi itu terdapat cukup banyak limbah hewan ternak yang tidak dimanfaatkan. "Oleh pemiliknya, kami diperbolehkan menanfaatkan gratis. Tidak ditarik biaya,'' ujar Nanang.
Karena terlalu banyaknya, kini dia kesulitan mendapatkan lokasi penampungan limbah dan hasil pupuk yang telah diolah. "Saya optimistis prospek usaha pengolahan pupuk organik ini sukses karena keunggulannya tak diragukan lagi untuk meningkatkan kesuburan lahan pertanian,'' paparnya.
Demikian juga tentang semakin sempitnya lahan pertanian di perkotaan. Nanang memberikan pandangan kepada ayahnya agar tidak kolot dan terus mempertahankan lahan pertanian. ''Dipahami dampak urbanisasi akan terus dirasakan warga kota. Di antaranya naiknya kebutuhan pemukiman sehingga menyempitnya lahan pertanian. Kami sebagai warga kota tak mampu membendungnya,'' urai Nanang.
Langkah bijak yang harus dilakukan adalah mencari lahan alternatif di wilayah kabupaten yang lokasinya tak jauh dari rumah. Apalagi produktivitas tanah di perkotaan untuk bertani juga buruk. Untuk diketahui, sawahnya sudah pernah pindah tiga kali karena dibeli pengembang perumahan. Pertimbangan yang mendasari adalah produktivitas tanah sudah jelek.
Tidak seperti kebanyakan petani lain yang menjual gabah, Yahmo dibantu Nanang mengemas sendiri padi organiknya. Nanang membuat terobosan dengan menjual beras organik dalam kemasan 5 kg. Beras itu ditempatkan dalam wadah plastik dan diberi tulisan "Oges". "Nama ini saya ambil dari nama khas Malang yang berarti sego atau nasi. Dan jika dibuat singkatan, artinya Organik Enak dan Sehat," katanya.
Dia berobsesi Oges bisa menjadi salah satu hasil pertanian khas dari Kota Malang. Hingga sekarang, Nanang dan ayahnya telah membuat konsep pemasaran beras organik yang menguntungkan bagi mereka. "Saya berharap petani menjadi penguasa atas semua sistem produksi sekaligus distribusi sehingga petani tidak bakal menjadi objek permainan para tengkulak yang bisa memainkan harga padi seenaknya. Dengan sistem ini, niscaya petani bisa lebih merdeka," tandasnya. (mardi sampurno/yn)
Post a Comment
Post a Comment